Eh ya, dari searcing tentang neurofeedback, aku dapet artikel ini yang aku kira bagus banget. Walopun, artikel ini bukan artikel baru. Sumbernya dari http://dyahanggraini.ngeblogs.com/category/psikologi-anak-khusus. Ok deh, cekidottttt... ;)
Nurofeedback adalah ‘pelatih’ otak yang sangat efektif; bisa membaca kemampuan otak sekaligus menuntun anak agar bisa berprestasi sebaik-baiknya. Terapi ini meluruskan aktivitas otak yang error, baik yang melempem ataupun yang hiperaktif. Setiap kali otak berhasil meningkatkan kerjanya, ‘pelatih’ ini akan memberi umpan balik atau feedback, semacam bonus.
Si ‘pelatih’ yang satu ini tidak cerewet. Ia mengajar tanpa menghamburkan kata-kata atau gerakan, sehingga murid bisa mengikuti pelatihannya sambil duduk dengan anteng. Dia bahkan tidak bisa bicara, karena berwujud seperangkat mesin yang mengekspresikan diri melalui layar monitor komputer/laptop. Namanya EEG Neurofeedback.
Membantu anak dengan kebutuhan khusus
Lewat terapi EEG Neurofeedback ini, Bimo, putra bungsu Ibu Maya Yulli yang tinggal di Semarang, menunjukkan kemajuan yang nyata. Bimo (kini 12 tahun) adalah penyandang autisme yang sejak bayi sering mengalami kejang. Kini sudah setahun ia berteman dengan perangkat EEG Neurofeedback.
Ibu Yulli mengenal terapi Neurofeedback dari seorang teman, yang kemudian menghubungkannya dengan ahlinya, yaitu Dr Joseph Guan MM Ed, PhD, doktor dalam bidang pendidikan dari University of Tulsa, Oklahoma, USA, yang juga ahli Neuro-Linguistic Programming. Selanjutnya, beberapa kali Bimo di-terapi oleh praktisi hipnoterapi dari American Board of Hypno-therapy yang kini memimpin Brain Enhancement Centre di Singapura ini.
Melihat hasilnya yang menggembirakan, kedua kakak Bimo pun ikut training terapi ini guna membantu melanjutkan terapi secara intensif pada Bimo dengan porsi latihan 5 kali dalam seminggu, masing-masing selama 45 menit.
Hasil yang dicapai ternyata sangat menggembirakan. Seperti yang disampaikan sang ibu kepada Nirmala, kini Bimo menjadi lebih tenang. Putra bungsu dari 3 bersaudara ini mampu menyampaikan keinginannya lebih baik, konsentrasi belajarnya juga semakin panjang dan terarah.
Kegembiraan serupa dipetik oleh orangtua Chika. Saat bermukim di Denpasar 2 tahun lalu, mereka mengenal EEG Neurofeedback lewat sebuah seminar. Kemudian lewat kegiatan komunitas orangtua anak-anak berkebutuhan khusus,ia mengikuti terapi bersama dengan mengundang ahlinya dari Singapura.
Meski baru mengikuti terapi selama 5 hari berturut-turut, Chika sudah memperlihatkan kemajuan. “Tidur Chika menjadi pulas. Ini membawa perbaikan pada kemampuan konsentrasi dan pemahaman pada sekelilingnya. Chika menjadi lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain, misalnya mampu melaksanakan instruksi yang lebih rumit,” tutur sang ibu.
Ketika mereka akhirnya pindah ke Jakarta, info tentang terapi ini diperkenalkan kepada pengelola sekolah baru Chika di Jakarta, International Center for Special Care in Education (ICSCE).
“Melihat efek terapinya sangat positif, kami akhirnya bekerjasama dengan para orangtua murid menyelenggarakan terapi ini di sekolah kami dengan tim terapis yang langsung dipimpin Dr Guan dari Singapura. Selain untuk murid-murid sendiri, kami juga menerima pasien dari luar. Berdasar pengalaman kami, tidak mungkin meningkatkan kemampuan anak-anak dengan special needs ini hanya dengan satu macam terapi. Neurofeedback therapy ini kami harap bisa melengkapi terapi-terapi yang lain,” demikian penjelasan Katharina Wewengkang, pimpinan ICSEC.
Bagaimana EEG Neurofeedback bekerja
Perangkat EEG (electro encephalogram) sudah cukup lama dipakai dalam dunia kedokteran. Biasanya seorang dokter ahli saraf menggunakan perangkat EEG untuk merekam aktivitas listrik sel-sel otak pasiennya. Dalam grafik rekaman frekuensi gelombang otak tersebut, bisa dibaca aktivitas otak pada saat itu. Misalnya gelombang beta (otak dalam kondisi aktif berpikir), alpha (otak dalam keadaan lebih rileks), tetha (otak sangat tenang dan penuh ide spontan), dan gelombang delta ketika otak masuk fase tidur pulas disertai mimpi. Bedanya dengan EEG yang sudah dikenal luas, EEG Neu-rofeedback ini sekaligus mampu menyaring gelombang otak yang error, misalnya hubungan sel saraf yang over connected, yang mencetuskan gejala obsessive compulsive behavior pada penderitanya (contohnya mencuci tangan berulang-ulang) atau justru ‘kurang nyambung’ sehingga perhatian para penderita menjadi tidak fokus.
Gelombang otak yang error akan tertangkap alat penguat (amplifier) dan diperlihatkan lewat layar monitor komputer dalam bentuk gambar disertai suara. Berdasarkan feedback tersebut otak akan dituntun dan dilatih untuk beraktivitas ke arah normal. Dengan demikian gejala yang dialami pasien akan semakin berkurang.
Singkatnya, perangkat ini merupakan strategi pembelajaran otak yang memungkinkan seseorang untuk mengubah gelombang otaknya. Selajutnya lewat alat ini, orang tersebut melakukan latihan otak (brain exercise) untuk memperbaikinya.
“Neurofeedback akan melatih otak untuk memantapkan aliran atau gelombang otak sehingga memungkinkan seseorang tampil secara optimal. Melalui proses latihan inilah synaptic connection (pengaliran gelombang listrik oleh sel-sel saraf) akan dikembalikan pada struktur normalnya. Jika ini bisa terlaksana maka kemampuan kognitif dan emosi seseorang menjadi lebih mantap. Performa pun menjadi lebih baik,” tutur Dr Joseph Guan dalam seminar memperkenalkan terapi EEG Neurofeedback yang diselenggarakan ICSCE bulan April lalu di Jakarta.