Dalam doaku subuh ini, kau menjelma langit
yang semalaman tak memejamkan mata,
yang meluas bening siap menerima cahaya pertama,
yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara
ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
Dalam doaku, kau menjelma pucuk-pucuk cemara
yang hijau senantiasa,
yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini, kau menjelma seekor burung gereja
yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu,
yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam doaku, kau menjelma angin
yang turun sangat pelahan dari nun di sana,
bersijingkat di jalan kecil itu,
menyusup di celah-celah jendela dan pintu,
dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku, kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya,
yang setia mengusut rahasia demi rahasia,
yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
Aku mencintaimu,
itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu
mendoakan keselamatanmu
(Sapardi Djoko Damono, 1989)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar